..

..

PERJALANAN PANJANG ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA

Hasil gambar untuk ETNIS CHINA
PERJALANAN PANJANG ETNIS CHINA(TIONGHOA)DI INDONESIA

Muqoddimah
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Pada pembahasan kali ini saya mencoba mengajak para pembaca budiman untuk mengetahui secara lengkap keberadaan etnis China di Indonesia.
Hal ini saya maksudkan sebagai dasar awal bahasan pokok kita tentang isu Menchinakan Indonesia.
Tak ada maksud menggiring opini agar pembaca menjadi pro china.
tapi saya ingin memberi gambaran tentang hal yang sebenarnya.
Penting saya tekankan Kita rakyat Indonesia siap bekerja sama dengan negara mana saja,selama kerja sama tersebut tidak merugikan Indonesia.Terhadap Negara atau Kelompok yang berkeinginan ingin menguasai,mendikte dan mencampuri urusan negeri Indonesia HARUS KITA LAWAN demi kedaulatan NKRI.
Rakyat harus pintar dan jeli membaca situasi Siapakah kelompok yang sebenarnya ingin menghancurkan kedaulatan NKRI

Bagian I

Diskriminasi Rasial Pada Etnis Tionghoa di Indonesia
Diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia sudah dimulai semenjak masa Kolonial Belanda. Bahkan pada tahun 1740 di bawah perintah Gubernur Jendral Valckenier terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di Batavia. 10.000 orang etnis Tionghoa ditumpas habis.
Pembantaian yang dilakukan Belanda secara besar-besaran terhadap orang Tionghoa dimaksudkan agar kalangan bisnis etnis Tionghoa ini betul-betul tunduk terhadap Belanda. Itu sebabnya tidak banyak muncul oposisi-oposisi dari kalangan etnis Tionghoa.
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti hanya pada masa Kolonial Belanda, namun terus berlanjut hingga Orde lama dan Orde Baru.

A. Diskriminasi rasial Masa Orde Lama

Pemerintahan Presiden Soekarno pada era 1959-1960 adalah masa dimana etnis Tionghoa sungguh terdiskriminasi dalam wajah yang sangat rasialis. Pengejaran terhadap orang-orang Tionghoa ketika itu merupakan bagian dari pelaksanaan serta pengembangan politik anti Tionghoa pada 1956. Konsep pemikiran dari pemerintah mengenai nasionalisasi perusahaan telah sangat meminggirkan usaha milik orang-orang etnis Tionghoa.
Pada 14 Mei 1959 pemerintah mengeluarkan PP No. 10/1959 yang isinya menetapkan bahwa semua usaha dagang kecil milik orang asing di tingkat desa tidak diberi izin lagi setelah 31 desember 1959. Peraturan ini terutama ditujukan pada pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang-orang asing yang melakukan usaha ditingkat desa. Alhasil, semakin mengeraslah perlakuan rasis terhadap orang Tionghoa di Indonesia.

Bahkan sebagai akibat dari PP No. 10/1959 itu, selama tahun 1960-1961 tercatat lebih dari 100.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia dan secara tipikal mereka mengalami banyak kesengsaraan. Di satu pihak karena intrik-intrik politik negara Indonesia dan Tiongkok dan di lain pihak meningkatnya teror dalam perbatasan-perbatasan Indonesia sendiri.
Sebutan orang ‘Cina‘ oleh sebagian besar Rakyat Indonesia dan perlakuan aparat militer yang menjadi alat negara telah mampu mendiskreditkan etnis Tionghoa sebagai kaum pendatang yang harus tunduk pada masyarakat yang punya tanah kelahiran (pribumi). Namun kenyataan menjadi paradoks ketika lobi-lobi penguasa tempo itu tidak bisa menghindar dari sebagian elit etnis Cina.
Rasa dendam terhadap etnis Cina semakin memberi kekuatan baru bagi perjuangan meminggirkan etnis Cina. Disisi yang lain, bangkitnya semangat nasionalisme yang cenderung mengacu pada sentimen primordial adalah faktor lain yang menunjukkan betapa suramnya rasialisme itu di wajah Negara Republik Indonesia.

B. Diskriminasi Rasial Masa Orde Baru

Jatuhnya rezim Orde Lama tidak serta merta membawa angin segar terhadap hilangnya diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Nyatanya diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa masih saja berlanjut pada masa Orde Baru.
B1. Diskriminasi terhadap orang Tionghoa ditempuh pemerintahan Orde Baru dilakukan dengan cara, diantaranya :
1. Mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda Penduduk
2. Tidak bolehnya warga etnis Tionghoa menjadi pegawai negeri serta tentara
3. Pelarangan warga etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di pedesaan
dan masih banyak lagi pembatasan-pembatasan yang dilakukan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang bersifat begitu mendiskreditkan serta mendiskriminasi. Kebijakan-kebijakan ini pun tentu saja secara otomatis merenggut hak asasi mereka sebagai warga negara Indonesia dan sebagai manusia.
Pada tanggal 7 juni 1967, Soeharto mengeluarkan surat edaran ‘Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina’ yang isinya menyatakan bahwa etnis Tionghoa WNA yang beritikad baik akan mendapat jaminan keamanan dan perlindungan atas kehidupan, kepemilikan, dan usahanya.
Surat edaran ini kemudian di tindak lanjuti dengan Keputusan Presiden pada Desember 1967 yang isinya menyatakan bahwa Pemerintah tidak membedakan antara Tionghoa WNA dan Tionghoa WNI.
Kebangkitan warga keturunan cina dimulai sejak  tanggal 7 febuari 2000. Pada hari Tersebut Presiden   Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000, untuk mencabut Inpres No. 14 tahun 1967. Maka tidak heran jika Gus Dur bak Dewa Budha bagi warga keturunan china. Adalah Cipto dari muntilan, Jawa Tengah yang telah membuat patung ‘Budha Gus Dur’, Menurutnya patung “Budha Gud Dur”sebagai apresiasi nilai-nilai kebaikan yang ditanam oleh gusdur sama dengan yang diajarkan Budha.
Kemudian Dilanjutkan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional pada 2002, yang mulai berlaku 2003. Di era SBY selama menjabat dua periode, 2004-2009 dan 2009-2014 juga melakukan langkah-langkah penting memuluskan tergelarnya karpet merah untuk warga keturunan cina dan negara leluhurnya, Cina Daratan.

Di era Presiden SBY terdapat  mantan menteri  Mari ElkaPangestu yang pernah menjabat Menteri Perdagangan lalu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenbudpar). Mari adalah wanita Cina-Indonesia pertama yang memegang jabatan menteri di Indonesia dan anak dari ekonom terkenal Indonesia, J. Panglaykim.

Di era pemerintahan Presiden Jokowi etnis Cina yang berada di pemerintahan bertambah semakin banyak. Meskipun tak menjabat menteri, namun posisi mereka boleh dibilang cukup strategis. Di Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) ada nama Jan Darmadi (Jauw Fok Joe), pemilik Hotel Mandarin Jakarta, Mercure Ancol, dan Setiabudi Building. Ada juga Rusdi Kirana, CEO Lion Air Group. Di Istana Wakil Presiden ada nama Sofjan Wanandi (Liem Bian Koen) sebagai Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla.


Jika dilihat dari pergerakan politik mereka, maka bukan tidak mungkin orang warga keturunan Cina akan menjadi Presiden atau wakil Presiden RI. Terlebih sejak amandemen ketiga UUD 1945 tentang syarat menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden RI. Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden RI harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Sebelum diamandemen pasal tersebut berbunyi, Presiden ialah orang Indonesia asli.

Mungkinkah sepuluh tahun atau lima belas tahun lagi, orang-orang Cina-Indonesia menjadi Presiden atau Wakil Presiden RI?
Semoga bermanfaat.
Tema selanjutnya : Isu dan propaganda yang mengatakan bahwa hasil reklamasi telah di kavling dan terjual habis,dibeli oleh orang China adalah kebohongan
Pastikan anda mengikuti ulasan kasus ini sampai tuntas,
AlhamdulillaahiRobbilAlamiin


Previous
Next Post »